Slow
motion, seakan terkontrol. Kakikupun berjalan pelan
mengikuti irama sepoi angin berhembus. Sesekali mataku terpejam, membiarkan
suasana ini merasuk dalam sukma. Subhanallah,
Allahu Akbar. Lantunan itu ku remas dalam dada, tak ingin ku hentikan.
Kuhidu udara dengan hidung
separuh mancungku dan perlahan masuk kerongga dada. Angin semilir yang menggoda
ujung jilbabku mematikan semua rasa penat. Bunga warna-warni, semak belukar,
bermacam dedaunan dan hewan-hewan kecil berpayung pohon rindang. Tuhan
mengaturnya begitu rukun. Subhanallah.
Sampai pada tumpukan
ilalang yang menari riang. Serta hamparan awan biru yang tersenyum syahdu.
Seperti kapas putih, butiran-butiran itu berhamburan dari cela-cela ilalang dan
pergi bersama angin. Seakan mereka menyambut kedatanganku, yang mungkin akan
disambut kecewa olehnya.
Mata empatku, bibir
tebalku, alis hitamku, pipi cabiku, dan kulit langsatku, tiada henti mereka
bertasbih. Subhanallah, Allahu Akbar.
Subhanallah, Allahu Akbar. Serunya berulang-ulang. Air mata sudah mengintip
dikelopak. Indah, istimewa dan bahagia luar biasa bisa menikmati kesempatan
ini. Alhamdulillah, keputusanku
datang kesini tidak sia-sia juga.
Satu tangan kubiarkan
menyentuh lepas pucuk ilalang. Mereka mengajakku menari. Namun telunjukku
menggeleng. Tidak untuk hari ini
ilalangku, aku sudah menunggu hari ini dan hanya untuknya. Seakan mengerti,
merekapun kembali bersuka ria. Aku tersenyum dan perlahan menjauh.
Kini jalan setapak
membentang panjang lurus. Berpagar pohon kamboja disisi kanan kiri jalan.
Harumnya khas wewangi bebungaan. Memang hanya sekali aku kesini, dan tidak jauh
beda dengan dua tahun yang lalu. Hanya daun kering dibiarkan menumpuk
dimana-mana.
Kini kakiku tidak
sendiri, ada sepasang lagi dibelakang mengiringi. Tanpa menolehpun aku sudah
tahu dari suara sepatunya, ya caranya berjalan. Langkah sepatu yang gagah.
Aroma tubunya segar terbawa angin. Tapi aku harus menoleh sekedar menyapanya
dengan senyum.
Memang benar dialah
yang kukenal. Jejaka yang gigih berjuang mewujudkan semua keinginannya. Yang
kini mengejarku dengan jalan setengah lari, hingga kami berjalan beriringan.
Senyumnya sumringah dan tak ingin temaram walau meranapun. Laki-laki sopan ini
menangkupkan tangannya, aku membalasnya dengan senyum dan pejaman lembut satu
kali. Dan rupanya membuat pipi putihya merah. Nafasnya terengah-engah, susah
payah rupanya dia datang kesini. Dan kini pipi langsatku menyembunyikan rona
merah. Astaghfirullahal adzim.
Kami hanya bisa diam,
jalanku menunduk dan aku sadar dia menatapku. Aku benci itu dan sesekali
membuang pandang pada tumpukan daun-daun kering. Ya Robb, takdirmu hari ini sungguh mendebarkan. Biarkan hati ini tak
ikut resah. Dzikir tak henti kulantunkan. Berharap aliran darah ditubuhku terkondisikan.
Dan kami tetap diam.
Aku benci suasana ini. Lima belas menit sudah berlalu. Ingin kupotong saja
jalan setapak ini. Aku tak tahan bersamanya lama-lama dalam diam. Allahu Akbar, permudahkan hamba dalam misi
ini Ya Rabb. Aku bingung. Aku meremas jari-jariku bersamaan dengan menutup
mata.
Di tepuknya pundakku
dengan lembut. Dia memandangku penuh tanya. Apa yang ada difikirannya tentangku
selain beribu pertanyaan menyerbu. Dan aku hanya selalu bisa menjawabnya dengan
senyuman. Percuma juga kujawab, dia belum bisa memahami bahasaku.
Langkah ini pun lama
sekali tak menemukan ujungnya. Lagi pula juga salahku. Rutenya aku yang pilih.
Dia mana tahu wilayah ini. Rumahku saja dia tak tahu. Yang dia tahu hanya coffe shop LEZIZ, yang terletak diujung
jalan. Tempat pertama kali kita bertemu tiga bulan yang lalu dan menjadi basecamp pertemuan rutin setiap
minggunya. Memang, bertanya rumahku saja dia tidak berani. Intinya, dia hanya
ingin bersilaturahim baik denganku.
Sampai pada sikap dan
kalimat yang dia ucapkan dua minggu yang lalu. Yang membuatku menitihkan air
mata dan sangat geram. Yang membuatku berfikir akan memutuskan tali silaturahim
ini. Yang membuatku membaca istighfar setiap
hari agar termaafkan segala dosaku. Sampai saat ini kita berjalan beriringan
senyum. Berusaha saling menutupi nervous satu
sama lain.
Alhamdulillah,
tiba juga.
Aku mengajaknya dengan
senyumku ke arah gundukan tanah bersih itu. Kami duduk disebelahnya. Aku
memberikan buku Yasiin dan tahlil kepadanya. Mengisyarat agar ia memimpin do’a
untuk yang terbaring disana.
Setengah jam berlalu
dengan syahdu. Aku juga sempat menitihkan air mata rindu disela-sela bacaan
tahlilku. Dan dia menangkapnya dengan mengelus lembut pundakkku sekejap.
Setelah kami selesai
menaburkan bunga serta
air di atas nisan dan gundukan tanah tempat seseorang berbaring diam, aku
memberikan sebuah amplop coklat polos dari saku tasku. Tertulis di badan diamplopnya
“ Baca Di sini, Aku akan menunggumu
disana”. Dia menurut dan dengan senyum aku meninggalkannya. Aku melihatnya
membuka pelan amplop itu. Dan tasbihpun berlantun dari bibirku.
Assalamu’alaikum....
Untuk
engkau Mas Mahdi, yang Aku hormati
dengan segala kebaikannya,
Jangan
heran, ini bukan tulisanku. Kau tahu aku buta huruf dan hanya mengenali tulisan
nama tempatku bekerja dan cafe langganan kita. Aku meminta bantuan teman yang
mengerti bahasa isyaratku. Akupun tak tau seindah apa kata yang dia tuliskan
untuk surat ini.
Terima
kasih telah datang.
Jangan
bertanya lagi kenapa aku tak menerima pinanganmu. Kau sempurna dimata makhluk
yang tak bisa melihatpun. Jangan salah artikan sikapku. Aku sangat mengagumimu,
bukan mencintaimu.
Kau
ingin berteman denganku bukan? Aku memang tak bisa bicara sempurna. Tapi
percayalah, aku berusaha agar kau mengenalku sewajarnya saja. Agar tidak
terjadi apa-apa pada hati kita.
Kita
sangat jauh berbeda, dan itu nyata. Mungkin satu yang belum kau ketahui
tentangku. Aku sudah berusaha menunjukkan ini sebelumnya. Namun karena
keterbatasanku menyampaikannya, sampai sekarang kau belum tahu tentang ini.
Nama
yang tertulis pada nisan itu adalah nama suamiku. Dia meninggalkanku dua tahun
yang lalu di tujuh hari pernikahan kami. Aku sudah janda setahun sebelum punya
E-KTP.
Ada
dan tak ada pesan terakhir darinya, semua sama dan tak akan mengubah
keputusanku untuk tetap menjadi jandanya. Maklumi itu Mas. Aku sangat
mencintainya. Akan kupertahankan sampai batas kemampuanku.
Terima
Kasih. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya selalu.
Wassalam...
Muslimah.
Aku melihatnya melipat
dan memasukkan kembali ke amplop. Dia mengusap lembut nisan suamiku. Dan diam sejenak,
baru dia mengangkat tubuhnya dari pusara dan berjalan santai ke arahku.
Aku menyambutnya dengan
senyum ketika dia melepaskan pandangan kosong ke arahku. Berhenti tepat
didepanku yang menunggunya di gerbang kayu. Helaan nafasnya yang berkumandang
lirih, membuatku meremas tasbih ke dadaku. Dia memeriksa telingaku yang
berbalut kerudung.
“Kau bisa mendengar
sekarang?” aku mengangguk pelan. Tentu dengan alat bantu dengar ini aku bisa
mendengarnya. Suaranya berat dan terdengar agak tua.
“Panjang sekali.... kau
cerewet juga rupanya.” Lagi-lagi aku mengangguk, dan kami tertawa kecil.
“Jangan pakai warna
ungu lagi, itu yang membuat mata orang melihat ke arahmu. Menambah keanggunanmu
saja.” Sekarang kubalas dengan tinju kecil di pundaknya.
“Untuk persahabatan
kita yang cetar ini, kita ngopi yuuukk.” Dia memaksa dengan guraunya. Dan lagi-lagi
aku mengangguk, namun lebih keras anggukanku. Aku senang dengan kata
‘persahabatan kita’ itu.
Moccacino
ini lebih nikmat dari biasanya. Hangatnya menyebar ke penjuru dada. Hatiku
berdegup gembira. Jantungku juga bekerja ekstra hari ini. Banyak kudengar suara
yang berlalu lalang. Dan suara beratnya sedari tadi tak bisa diam. Subhanallah.
Ditulis pada 27/2/2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar