Rabu, 19 April 2017

CerpenAi : NARASIMU(S)

Slow motion, seakan terkontrol. Kakikupun berjalan pelan mengikuti irama sepoi angin berhembus. Sesekali mataku terpejam, membiarkan suasana ini merasuk dalam sukma. Subhanallah, Allahu Akbar. Lantunan itu ku remas dalam dada, tak ingin ku hentikan.

Kuhidu udara dengan hidung separuh mancungku dan perlahan masuk kerongga dada. Angin semilir yang menggoda ujung jilbabku mematikan semua rasa penat. Bunga warna-warni, semak belukar, bermacam dedaunan dan hewan-hewan kecil berpayung pohon rindang. Tuhan mengaturnya begitu rukun. Subhanallah.
Sampai pada tumpukan ilalang yang menari riang. Serta hamparan awan biru yang tersenyum syahdu. Seperti kapas putih, butiran-butiran itu berhamburan dari cela-cela ilalang dan pergi bersama angin. Seakan mereka menyambut kedatanganku, yang mungkin akan disambut kecewa olehnya.
Mata empatku, bibir tebalku, alis hitamku, pipi cabiku, dan kulit langsatku, tiada henti mereka bertasbih. Subhanallah, Allahu Akbar. Subhanallah, Allahu Akbar. Serunya berulang-ulang. Air mata sudah mengintip dikelopak. Indah, istimewa dan bahagia luar biasa bisa menikmati kesempatan ini. Alhamdulillah, keputusanku datang kesini tidak sia-sia juga.
Satu tangan kubiarkan menyentuh lepas pucuk ilalang. Mereka mengajakku menari. Namun telunjukku menggeleng. Tidak untuk hari ini ilalangku, aku sudah menunggu hari ini dan hanya untuknya. Seakan mengerti, merekapun kembali bersuka ria. Aku tersenyum dan perlahan menjauh.
Kini jalan setapak membentang panjang lurus. Berpagar pohon kamboja disisi kanan kiri jalan. Harumnya khas wewangi bebungaan. Memang hanya sekali aku kesini, dan tidak jauh beda dengan dua tahun yang lalu. Hanya daun kering dibiarkan menumpuk dimana-mana.
Kini kakiku tidak sendiri, ada sepasang lagi dibelakang mengiringi. Tanpa menolehpun aku sudah tahu dari suara sepatunya, ya caranya berjalan. Langkah sepatu yang gagah. Aroma tubunya segar terbawa angin. Tapi aku harus menoleh sekedar menyapanya dengan senyum.
Memang benar dialah yang kukenal. Jejaka yang gigih berjuang mewujudkan semua keinginannya. Yang kini mengejarku dengan jalan setengah lari, hingga kami berjalan beriringan. Senyumnya sumringah dan tak ingin temaram walau meranapun. Laki-laki sopan ini menangkupkan tangannya, aku membalasnya dengan senyum dan pejaman lembut satu kali. Dan rupanya membuat pipi putihya merah. Nafasnya terengah-engah, susah payah rupanya dia datang kesini. Dan kini pipi langsatku menyembunyikan rona merah. Astaghfirullahal adzim.
Kami hanya bisa diam, jalanku menunduk dan aku sadar dia menatapku. Aku benci itu dan sesekali membuang pandang pada tumpukan daun-daun kering. Ya Robb, takdirmu hari ini sungguh mendebarkan. Biarkan hati ini tak ikut resah. Dzikir tak henti kulantunkan. Berharap aliran darah ditubuhku terkondisikan.
Dan kami tetap diam. Aku benci suasana ini. Lima belas menit sudah berlalu. Ingin kupotong saja jalan setapak ini. Aku tak tahan bersamanya lama-lama dalam diam. Allahu Akbar, permudahkan hamba dalam misi ini Ya Rabb. Aku bingung. Aku meremas jari-jariku bersamaan dengan menutup mata.
Di tepuknya pundakku dengan lembut. Dia memandangku penuh tanya. Apa yang ada difikirannya tentangku selain beribu pertanyaan menyerbu. Dan aku hanya selalu bisa menjawabnya dengan senyuman. Percuma juga kujawab, dia belum bisa memahami bahasaku.
Langkah ini pun lama sekali tak menemukan ujungnya. Lagi pula juga salahku. Rutenya aku yang pilih. Dia mana tahu wilayah ini. Rumahku saja dia tak tahu. Yang dia tahu hanya coffe shop LEZIZ, yang terletak diujung jalan. Tempat pertama kali kita bertemu tiga bulan yang lalu dan menjadi basecamp pertemuan rutin setiap minggunya. Memang, bertanya rumahku saja dia tidak berani. Intinya, dia hanya ingin bersilaturahim baik denganku.
Sampai pada sikap dan kalimat yang dia ucapkan dua minggu yang lalu. Yang membuatku menitihkan air mata dan sangat geram. Yang membuatku berfikir akan memutuskan tali silaturahim ini. Yang membuatku membaca istighfar setiap hari agar termaafkan segala dosaku. Sampai saat ini kita berjalan beriringan senyum. Berusaha saling menutupi nervous satu sama lain.
Alhamdulillah, tiba juga.
Aku mengajaknya dengan senyumku ke arah gundukan tanah bersih itu. Kami duduk disebelahnya. Aku memberikan buku Yasiin dan tahlil kepadanya. Mengisyarat agar ia memimpin do’a untuk yang terbaring disana.
Setengah jam berlalu dengan syahdu. Aku juga sempat menitihkan air mata rindu disela-sela bacaan tahlilku. Dan dia menangkapnya dengan mengelus lembut pundakkku sekejap.
Setelah kami selesai menaburkan bunga serta air di atas nisan dan gundukan tanah tempat seseorang berbaring diam, aku memberikan sebuah amplop coklat polos dari saku tasku. Tertulis di badan diamplopnya “ Baca Di sini, Aku akan menunggumu disana”. Dia menurut dan dengan senyum aku meninggalkannya. Aku melihatnya membuka pelan amplop itu. Dan tasbihpun berlantun dari bibirku.

Assalamu’alaikum....
Untuk engkau Mas Mahdi,  yang Aku hormati dengan segala kebaikannya,
Jangan heran, ini bukan tulisanku. Kau tahu aku buta huruf dan hanya mengenali tulisan nama tempatku bekerja dan cafe langganan kita. Aku meminta bantuan teman yang mengerti bahasa isyaratku. Akupun tak tau seindah apa kata yang dia tuliskan untuk surat ini.
Terima kasih telah datang.
Jangan bertanya lagi kenapa aku tak menerima pinanganmu. Kau sempurna dimata makhluk yang tak bisa melihatpun. Jangan salah artikan sikapku. Aku sangat mengagumimu, bukan mencintaimu.
Kau ingin berteman denganku bukan? Aku memang tak bisa bicara sempurna. Tapi percayalah, aku berusaha agar kau mengenalku sewajarnya saja. Agar tidak terjadi apa-apa pada hati kita.
Kita sangat jauh berbeda, dan itu nyata. Mungkin satu yang belum kau ketahui tentangku. Aku sudah berusaha menunjukkan ini sebelumnya. Namun karena keterbatasanku menyampaikannya, sampai sekarang kau belum tahu tentang ini.
Nama yang tertulis pada nisan itu adalah nama suamiku. Dia meninggalkanku dua tahun yang lalu di tujuh hari pernikahan kami. Aku sudah janda setahun sebelum punya E-KTP.
Ada dan tak ada pesan terakhir darinya, semua sama dan tak akan mengubah keputusanku untuk tetap menjadi jandanya. Maklumi itu Mas. Aku sangat mencintainya. Akan kupertahankan sampai batas kemampuanku.
Terima Kasih. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya selalu.
Wassalam...
Muslimah.

Aku melihatnya melipat dan memasukkan kembali ke amplop. Dia mengusap lembut nisan suamiku. Dan diam sejenak, baru dia mengangkat tubuhnya dari pusara dan berjalan santai ke arahku.
Aku menyambutnya dengan senyum ketika dia melepaskan pandangan kosong ke arahku. Berhenti tepat didepanku yang menunggunya di gerbang kayu. Helaan nafasnya yang berkumandang lirih, membuatku meremas tasbih ke dadaku. Dia memeriksa telingaku yang berbalut kerudung.
“Kau bisa mendengar sekarang?” aku mengangguk pelan. Tentu dengan alat bantu dengar ini aku bisa mendengarnya. Suaranya berat dan terdengar agak tua.
“Panjang sekali.... kau cerewet juga rupanya.” Lagi-lagi aku mengangguk, dan kami tertawa kecil.
“Jangan pakai warna ungu lagi, itu yang membuat mata orang melihat ke arahmu. Menambah keanggunanmu saja.” Sekarang kubalas dengan tinju kecil di pundaknya.
“Untuk persahabatan kita yang cetar ini, kita ngopi yuuukk.” Dia memaksa dengan guraunya. Dan lagi-lagi aku mengangguk, namun lebih keras anggukanku. Aku senang dengan kata ‘persahabatan kita’ itu.

Moccacino ini lebih nikmat dari biasanya. Hangatnya menyebar ke penjuru dada. Hatiku berdegup gembira. Jantungku juga bekerja ekstra hari ini. Banyak kudengar suara yang berlalu lalang. Dan suara beratnya sedari tadi tak bisa diam. Subhanallah.

Ditulis pada 27/2/2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar